Salah
satu dari delapan tujuan Millenium
Development Goals (MDGs) adalah pemerataan dan penyetaraan pelayanan
pendidikan dasar untuk semua. Pendidikan adalah hal utama yang harus dimiliki
setiap negara guna membangun sumber daya manusia yang unggul dan bisa memajukan
bangsa. Pengalaman menunjukkan bahwa negara-negara yang mengutamakan pendidikan
bagi warga negaranya akan berkembang menjadi negara yang maju dengan tingkat
kemakmuran diatas rata-rata seperti Singapura dan Malaysia. Tidak hanya itu,
pendidikan juga mempunyai peran utama dalam usaha menyetarakan antara orang
kaya dan miskin atau laki-laki dan perempuan. Jika tidak ada penyetaraan dalam
bidang pendidikan maka akan terjadi pula ketidaksetaraan dalam bidang-bidang
lainnya.
Perjuangan untuk menuju kesetaraan
dalam bidang pendidikan tentu bukan hal yang mudah. Bila melihat lebih jauh
program-program yang berpihak pada dunia pendidikan, tampaknya masih banyak hal
yang perlu dipenuhi. Kita mengakui bahwa Indonesia bukanlah negara dengan
sistem pendidikan terburuk di dunia, tetapi peningkatan perlu diupayakan untuk
menjadi lebih baik. Sayangnya, penyetaraan kesempatan belajar di Indonesia masih
belum maksimal. Bahkan masih banyak dijumpai di daerah-daerah pelosok Indonesia
yang kurang terjamah pendidikannya.
Lalu dengan kondisi pendidikan
seperti itu, siapa yang hendak kita salahkan?. Indonesia tidak hanya digerakkan
oleh tokoh politik, tokoh agama, tetapi digerakkan oleh intelektual muda yang
peduli bukan anak muda apatis. Untuk
itu, sebagai generasi penerus bangsa,
saya merasa terpanggil untuk mengambil peran dalam membangun Indonesia. Saya
tersadar akan arti sebuah nasionalisme melalui perkataan Bung Hatta “Hari siang bukan karena ayam berkokok, akan
tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang. Begitu juga dengan pergerakan
rakyat. Pergerakan rakyat bukan timbul karena pemimpin bersuara, tetapi
pemimpin bersuara karena ada pergerakan”.
Karena mempunyai mimpi untuk menjadi
seorang penggerak perubahan sosial maka menjadi seorang relawan pendidikan
adalah salah satu hal yang saya lakukan sejak mengenal arti sebuah nasionalisme
hingga saat ini. Berbicara tentang impian, kita tahu bahwa setiap orang
tentunya memiliki cara pandang yang berbeda-beda akan hal ini. Begitupun dengan
saya. Harapan untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesialah yang
mengantarkan saya ingin selalu melakukan sesuatu. Saya pernah tergabung dalam sebuah organisasi sosial nonprofit
bernama Buku Negriku. Buku Negriku merupakan sebuah proyek sosial yang
bertujuan untuk meningkatkan minat serta kemampuan baca anak-anak dan remaja
Indonesia.
Buku Negriku telah menjadi wadah
bagi diri saya sendiri dalam membantu memeratakan pendidikan di Indonesia. Hal
yang paling membuat saya bahagia adalah ketika buku-buku hasil donasi dari
masyarakat kami distribusikan ke daerah-daerah yang minim akan fasilitas baca.
Salah satu proyek terbesar yang juga kami lakukan adalah “Saatnya Indonesia
Bangkit”. SIB ini ditujukan untuk daerah pelosok negeri yang akses
pendidikannya masih rendah.
SIB bertujuan untuk mengenalkan
huruf dan belajar membaca, menjadikan membaca sebagai aktivitas menyenangkan
untuk anak-anak, menumbuhkan rasa kepedulian yang tinggi terhadap kondisi
bangsa Indonesia, dan mendirikan taman baca di daerah pelosok sebagai penunjang
dalam belajar. SIB ini dilaksanakan di salah satu daerah yang ada di Sulawesi
Barat, tepatnya Kabupaten Polewali Mandar. Kurangnya perhatian terhadap
pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia menjadi salah satu penyebab
terbelakangnya masyarakat dalam masalah pendidikan, khususnya di Lambe. Sehingga,
hal itulah yang mendorong saya mengajukan daerah ini sebagai sasaran dari
proyek SIB kepada Buku Negriku.
Tingginya angka putus sekolah,
bekerja pada usia 14 tahun, dan bahkan memilih menikah di usia dini
dibandingkan bersekolah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat. Saya
memberikan sosialisasi terhadap anak-anak untuk bangkit dari keapatisan mereka.
Generasi muda di daerah ini harus segera diberikan formula agar kondisi
pendidikan di Polewali Mandar tidak semakin terpuruk.
Selain itu, sebelum bergabung dengan
Buku Negriku, saya sempat menambah pengalaman dengan mengajar anak-anak jalanan
di Manggarai Jakarta Selatan pada tahun 2014. Adik-adik binaan Jendela Jakarta
memperoleh fasilitas taman baca lengkap dengan berbagai alat penunjang
belajar-mengajar didalamnya. Kelas belajar diadakan setiap akhir pekan, yaitu
Sabtu dan Ahad.
Adik-adik yang belajar di
perpustakaan Jendela Jakarta benar-benar dididik untuk menjadi anak yang cerdas
dan berakhlak mulia. Salah satu konsep pengajaran yang kami terapkan kepada
mereka adalah membuat peraturan di dalam kelas bahwa baik kakak pengajar maupun
adik-adik tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan atau kasar.
Misalnya mengganti kata “Lo”, “Gue” menjadi “Aku” dan “Kamu”. Apabila ada yang
melanggar peraturan tersebut maka masing-masing orang harus membayar denda
sebanyak Rp. 500,00 per ucapan. Selain itu, Jendela Jakarta juga sering
mengadakan rekreasi edukatif. Salah satunya, berkunjung ke Museum Mandiri yang
ada di Kota Tua. Itu adalah aktivitas terakhir yang saya lakukan sebelum
kembali ke Makassar.
Keinginan saya untuk berperan dalam
memperbaiki pendidikan di Indonesia tidak berhenti sampai disitu. Saya justru
masih merasa belum melalukan hal yang berarti, terutama untuk Polewali Mandar.
Mungkin orang-orang bertanya, mengapa saya sangat ingin mengadakan perubahan di
Polewali Mandar, jawabannya hanya satu, yaitu kampung halaman saya ada disana.
Jadi, saya paham betul bagaimana
kondisi sosial masyarakat di Polewali Mandar walaupun memasuki bangku SMP saya
mulai meninggalkan daerah ini. Setelah mendapatkan berbagai pembelajaran dan
pengalaman di luar, kini saatnya saya kembali untuk membangun daerah kelahiran
saya. Untuk itu, saat ini saya sedang menyusun proyek bernama Generasi Menabung
Cerdas.
GMC akan fokus terhadap permasalahan
pendidikan di Polewali Mandar tepatnya di Desa Karama, Kecamatan Tinambung Gerakan Menabung Cerdas ini adalah bagian dari
upaya generasi muda dalam membantu anak-anak usia 6-16 tahun untuk mengasa
potensi serta mengembangkan minat mereka, menumbuhkan kembali nilai-nilai moral
Indonesia, seperti budaya jujur, sopan terhadap orang yang lebih tua, bertutur
kata yang baik, dan lain-lain. Namun, GMC rencananya akan saya realisasikan
pada satu atau dua tahun kedepan. Karena saat ini, saya sedang fokus
mengerjakan proyek “Anak Pulau Kreatif” bersama Alumni Future Leader Forum
regional Celebes di Pulau Kodingareng sebagai bentuk kepedulian kami terhadap
kondisi pendidikan di daerah pesisir.
Terakhir, saya ingin mengatakan
jangan hanya selalu menuntut dan menyalahkan pemerintah atas kondisi yang ada.
Perhatikan sekelilingmu tapi bercerminlah pada dirimu sendiri. Hari ini,
sudahkah kita melakukan hal yang lebih bermakna dibanding sekedar beretorika?
Mengutip perkataan Pak Erie Sudewo “Hidup tanpa Karakter adalah Hidup yang
Hanya Mengikuti Arus tanpa Membawa Akhlak”. So, Let’s Pray, Dream, and Work Hard!.
Syukron J
Komentar
Posting Komentar