Bismillah...
Akhirnya seri pejuang mimpi bisa dilanjutkan. Setelah mengecek blogku pada dini hari ini ternyata ada janji yang belum kutunaikan. Ngomong-ngomong, kusarankan kamu membaca part #MasaAnak sebelum membaca kisah yang sekarang ya. Biar seperti jalan tol yang baru dibangun pemerintah, lancar bae hehe. Kalau jalan ceritanya lancar, kan jadi nyambung toh?
Akhirnya seri pejuang mimpi bisa dilanjutkan. Setelah mengecek blogku pada dini hari ini ternyata ada janji yang belum kutunaikan. Ngomong-ngomong, kusarankan kamu membaca part #MasaAnak sebelum membaca kisah yang sekarang ya. Biar seperti jalan tol yang baru dibangun pemerintah, lancar bae hehe. Kalau jalan ceritanya lancar, kan jadi nyambung toh?
..........
Usia 12-15 tahun adalah fase yang mengajarkan banyak hal. Melepas seragam putih merah ternyata cobaannya cukup berat. Seperti yang kamu tahu, aku dan keluargaku sepakat untuk melanjutkan pendidikan di luar kampung Abah. Yes, aku berangkat! Memoir perjalananku dari kampung Abah ke kota tidak begitu membekas, mohon maaf aku lupa tanggal berapa aku berangkat saat itu.
Perjalanan ku tempuh lewat jalur darat, karna memang jalur udara belum ada di zaman itu. Ingat tahunnya masih 2000-an. Perjalanan memakan waktu 8 jam. Alhamdulillah sejak kecil aku sudah terbiasa traveling, samaskali tangguh dong, nggak mabuk atau pusing dalam perjalanan.
Aku pun tiba di kediaman adik mama. Ternyata rumah tanteku memang sangat sepi, beliau hanya tinggal berdua. Wajarlah jika dia meminta Mama untuk mengizinkan aku tinggal bersamanya. Yang kudengar, qadarallah beliau samaskali belum punya anak padahal usianya sudah sangat matang. Baiklah, aku mengerti kenapa tanteku ini sangat berharap ada gadis kecil yang tinggal di rumahnya.
Kuhabiskan waktu bersama Mama dan tak boleh egois memintanya berlama-lama menemaniku sebab banyak hal yang harus Mama selesaikan bersama Abah. Jujur, aku sebenarnya malas bercerita momen saat beliau kembali ke kampung Abah tanpaku, takut nih laptop basah gara-gara nangis hehe. Tapi asli, itu sangat.. sangat... sedih sih, bayangin aja usia sebocah itu aku harus merasakan jadi anak rantau dan tahun ajaran baru sebagai siswa SMP tanpa orang tua di sampingku adalah tempaan yang make me grow as strong muslimah today.
Kuhabiskan waktu bersama Mama dan tak boleh egois memintanya berlama-lama menemaniku sebab banyak hal yang harus Mama selesaikan bersama Abah. Jujur, aku sebenarnya malas bercerita momen saat beliau kembali ke kampung Abah tanpaku, takut nih laptop basah gara-gara nangis hehe. Tapi asli, itu sangat.. sangat... sedih sih, bayangin aja usia sebocah itu aku harus merasakan jadi anak rantau dan tahun ajaran baru sebagai siswa SMP tanpa orang tua di sampingku adalah tempaan yang make me grow as strong muslimah today.
........
Terlalu banyak kisah yang menjelaskan mengapa mimpi itu adalah dorongan kuat untuk bertindak. Pernah nggak sih kamu berusaha mengatur hidup yang sebenarnya kita tahu dan yakin bahwa ada Allah yang mengatur skenario dari semua fase yang kamu lewati tapi ada hasrat kerja keras didalam dirimu, seolah mengatakan "Ayo, mulailah menyusun rencana untuk menjadi pribadi sukses dan lebih baik lagi". Oke, kurasa mungkin hal itulah yang juga terjadi pada diriku.
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA, kedengarannya general tapi bagiku dia spesial. Proses pendaftaran dan seleksi saja sudah menyisakan rupa emosi didalamnya. Bagaimana tidak, aku menjadi satu-satunya anak yang tak mengenakan jilbab diantara ratusan pendaftar. Jika waktu SD aku followers kakak, sekarang jadi pengikut tante. Kemana-mana ikut dan diurusi tante. Bisa kebayang kakunya aku untuk bercengkrama dengan orang lain saat itu? Belum lagi, nggak punya kenalan itu rasanya gimana sih. Sedangkan calon siswa yang lain, mereka kulihat asyik ngobrol, lari sana-sini, dan ketawa-ketiwi dengan sesama alumninya.
LAH AKU? Tanteku yang justru friendly-nya minta ampun. Orang-orang pada disapa, dikenal, dan disalami. Hei kamu tahu kebiasaan emak-emak? Nggak di kondangan, kantor, emang hobi memperkenalkan keluarganya. Alhamdulillah, karna keramahan tanteku itu akhirnya aku jadi dapat teman baru. Sebut saja namanya"Yaya" dan "Fika". Masih teringat jelas pertanyaan mereka kepadaku "Fit, kamu dari sekolah mana? Kamu tidak tahu ya kalau disini, anak-anak wajib mengenakan jilbab? Jilbabmu mana?"
Kujawablah pertanyaan mereka dengan menjelaskan bahwa aku baru saja tiba di kota ini dan aku tidak tahu jika ada aturan seperti itu. Selang berapa hari, alhamdulillah aku dinyatakan LULUS di sekolah itu. Rambutku akhirnya tak berhias kepang atau jepitan lagi. Kebiasaan menghias rambut akhirnya tergantikan dengan jilbab yang kukenakan ke sekolah. Hari pertama ternyata cukup gerah memakainya, tapi hari berikutnya ya sudah santai saja. NO PROBLEM!
Aku tetap bergaul dengan anak-anak kelas sebelah meski kompetisi jelas terasa di lingkungan koridor kelas kami. Bahkan aku sering belajar main basket dengan mereka. Plis, jangan tertawa! Iya, waktu SMP memang sering main tapi kemampuannya biasa aja kok. Iseng doang hehe. Selama kelas 1, yang ada di otakku adalah penaklukkan tembok. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa, aku harus mampu.
Belum kenal istilah bureng, tapi jurusnya memang belajar giat. Menurutku belajar giat dan belajar mati-matian adalah 2 hal yang berbeda. Sampai sekarang, mindset yang kubangun juga seperti itu. Aku bukan tipikal orang yang dengan ikhlas memberikan waktuku sepenuhnya hanya untuk berkutat dengan pelajaran. Honestly, aku memang terlihat suka merencanakan hal-hal besar tapi aku juga orang yang suka melakukan hal yang mungkin remeh-temeh dimata orang lain. Misalnya, dalam hal bermain. Memang, saat itu aku sudah tak main masak-masak lagi, ia tergantikan dengan mainan yang lebih banyak mengoleksi baju, bikin rumah-rumahan, bicara atau berdialog dan permainan itu kusebut "bongkar pasang". Sama halnya hari ini, orang-orang menganggap menulis blog itu emang masih ada? Padahal medsos sudah bertebaran dimana-mana. Tapi, blog itu membuat untaian kalimat yang ada di benakku jauh lebih hidup, ia mengajariku untuk tidak mudah melupakan memoir perjalanan hidup. Sebab, aku memang suka bercerita. Dan well, mungkin itu yang bikin cara pandang urgensi menulis dan membacaku beda dengan orang lain.
LAH AKU? Tanteku yang justru friendly-nya minta ampun. Orang-orang pada disapa, dikenal, dan disalami. Hei kamu tahu kebiasaan emak-emak? Nggak di kondangan, kantor, emang hobi memperkenalkan keluarganya. Alhamdulillah, karna keramahan tanteku itu akhirnya aku jadi dapat teman baru. Sebut saja namanya"Yaya" dan "Fika". Masih teringat jelas pertanyaan mereka kepadaku "Fit, kamu dari sekolah mana? Kamu tidak tahu ya kalau disini, anak-anak wajib mengenakan jilbab? Jilbabmu mana?"
Kujawablah pertanyaan mereka dengan menjelaskan bahwa aku baru saja tiba di kota ini dan aku tidak tahu jika ada aturan seperti itu. Selang berapa hari, alhamdulillah aku dinyatakan LULUS di sekolah itu. Rambutku akhirnya tak berhias kepang atau jepitan lagi. Kebiasaan menghias rambut akhirnya tergantikan dengan jilbab yang kukenakan ke sekolah. Hari pertama ternyata cukup gerah memakainya, tapi hari berikutnya ya sudah santai saja. NO PROBLEM!
.....
Sistem penentuan kelas di sekolahku berdasarkan rating nilai, dunia mimpiku bekerja lagi. Sangat berharap masuk di kelas paling unggul, yaitu VII-1. Usaha cukup maksimal tapi doa pas-pasan, eh bangunan mimpi diruntuhkan oleh pengumuman yang kuterima. "ANDI NUR FITRAH KELAS VII-2". Yah, qadarallah. Nyeseknya adalah, mesti tiap pagi banget gitu ya aku lewat di koridor kelas itu. Tetanggaan pula dengan kelasku, yang hampir tiap hari, aktivitas pada kelas masing-masing terdengar karna kami berseblahan bahkan satu dinding tembok.
Aku tak mengira, anak SMP emosinya ternyata labil bener. Ngertilah ya, karakteristik anak SMP itu seperti apa. Entah kenapa, seiring berjalan waktu, atmosfir kompetisi terbangun antara kelasku dan kelas VII-1. Aku lupa penyebabnya apa. Belum lagi, ketua kelasku emang rada gila sih *eh hahaha. Bukan apa-apa, kerjaannya ingin terlihat unggul daripada ketua kelas tetangga kami. Bayangkan, upacara hari Senin aku harus berulang kali memperbaiki posisi barisan saking perfectnya ketua kelasku. Tak ingin barisan kelasnya terlihat tidak rapi. Dan hal serupa juga terjadi di ketua kelas sebelah, Ya Allah bener-bener deh ah.... sengit!
Belum kenal istilah bureng, tapi jurusnya memang belajar giat. Menurutku belajar giat dan belajar mati-matian adalah 2 hal yang berbeda. Sampai sekarang, mindset yang kubangun juga seperti itu. Aku bukan tipikal orang yang dengan ikhlas memberikan waktuku sepenuhnya hanya untuk berkutat dengan pelajaran. Honestly, aku memang terlihat suka merencanakan hal-hal besar tapi aku juga orang yang suka melakukan hal yang mungkin remeh-temeh dimata orang lain. Misalnya, dalam hal bermain. Memang, saat itu aku sudah tak main masak-masak lagi, ia tergantikan dengan mainan yang lebih banyak mengoleksi baju, bikin rumah-rumahan, bicara atau berdialog dan permainan itu kusebut "bongkar pasang". Sama halnya hari ini, orang-orang menganggap menulis blog itu emang masih ada? Padahal medsos sudah bertebaran dimana-mana. Tapi, blog itu membuat untaian kalimat yang ada di benakku jauh lebih hidup, ia mengajariku untuk tidak mudah melupakan memoir perjalanan hidup. Sebab, aku memang suka bercerita. Dan well, mungkin itu yang bikin cara pandang urgensi menulis dan membacaku beda dengan orang lain.
TUNGGU DULU KENAPA JADI BAHAS YANG INI? Maaf maaf keterusan readers😅
Ulangan IPA kuraih dengan skor tertinggi saat itu, serangkaian ulangan pertamaku di kelas VII nilainya alhamdulillah memuaskan dan cukup memuaskan. Ada yang dapat 90,80, dan 85. Kecuali bahasa Arab, ya Allah mohon maaf saat itu ketertarikanku dengan bahasa penduduk syurga rendah sekali. BISA KU KATAKAN AMBURADUL. Ngomong-ngomong, sekolahku bukan MTS apalagi SMP IT, tapi SMP Negeri yang nggak tahu juga kenapa serapan nilai-nilai Islamnya cukup signifikan.
Melihat hasil ujianku, menurut kamu aku berpotensi meruntuhkan tembok untuk pindah ke kelas yang kuimpikan tidak? Hmmm.. aku cukup PEDE mengatakan "IYA". Tapi ternyata saat itu, usai sholat dzuhur, sangat di luar dugaan teman--teman, guru-guru, apalagi aku pribadi, aku dipanggil dan tentu saja hal itu membuat anak-anak berlarian ke kelasku untuk menjawab rasa penasaran mereka.
Ini adalah peristiwa yang memberiku banyak ibroh didalamnya, dimana nilai tak ada gunanya. Aku berjalan mengikuti intruksi guruku dengan tangis yang terseduh-seduh. "FITRAH KENAPA?!"
***
Memang benar, ternyata fase SMP bagi Fitrah adalah #MasaAnakBaruGede. Catatan mimpi yang kutulis dengan apik harus tergores karna peristiwa itu. Untuk pertama kalinya, aku bertanya
"Apakah ini adalah waktu untuk berhenti dalam penaklukkan?"😭😭😭
.....................................................................................
Kisah #MASAANAKBARUGEDE akan berlanjut di #Part2
Terima kasih,
-Fitrah-
Seserius ini bercerita hingga dini hari 1.19 WITA
Semangat terus nulisnya partner. Aku menjadi pembaca setia mu😊. Kalo bisa setiap pekan dong tulisannya di upload biar ga penasaran lama.
BalasHapusSyukron. Wah tiap pekan ya.. #biidznillah
HapusMasyaa Allah
BalasHapusEh Qalbi ternyata baca juga.. kayfa kisahnya? hehe
Hapus