Langsung ke konten utama

Bully Ternyata Separah Itu? #FaktadanOpini


Bismillah…
Kuucapkan rasa bangga untuk teman-teman yang sedang berjuang menghadapi masalah di lingkungan sosial kita. Memang, aktivis dan aktivitas itu bergandeng tangan, jiwanya bahkan satu jua. Kamu pernah naik commuter line? Perhatikanlah! Penglaju itu tahu kereta mana yang akan ia naiki, kalau tidak tahu, berarti kamu bukan ‘aktivis kantor’ yang handal mengetahui rute jalan.  Aku bukan penglaju, bukan aktivis komisi anak juga. Tapi, beberapa hari yang lalu aku terusik dengan berita perundungan (bullying). Hampir saja, diri ini apatis padanya. Saat video anak yang bernama Rizal itu melewati lini masa twitter, “Mesti bikin konten video apa lagi untuk buat warga +62 itu VIRAL??!!!” gumamku….
Saat itu, videonya benar-benar kulewatkan. Kuanggap biasa saja, nalarku kabel koneksinya lagi putus kali ya. Masa nggak ngeh kalau itu video tindakan bullying? Eh, kamu pas tahu ada berita Rizal yang jadi korban perundungan,  reaksimu apakah langsung marah?. Hmmmm, tahu nggak sekarang anak itu dihujani rezeki melimpah loh. Masyaa Allah dapat banyak bantuan sosial bahkan beasiswa dari berbagai public figure. Aku juga lihat cuitan Gubernur Sulawesi Selatan (19/05/2020), secara khusus Rizal bersama orang tuanya diundang ke Rumah Jabatan beliau. Dihadiahkan motor listrik dan beasiswa, benar-benar selalu ada hikmah dibalik peristiwa ya guys!. Terus…… pelaku perundungannya itu gimana? Tentulah sedang mempertanggung jawabkan tindakan sok jagoannya ke pihak berwenang. Teman-teman cek aja berita tentang kasus ini.
Kalau ditanya, perlu banget Fitrah ulas ini di blog? Jawabanku adalah………
COBA DEH TEMAN-TEMAN BACA #FaktadanOpini di bawah ini.

Halo, apa kabar? Akhir Mei ini, kita balik jadi anak kritikus dulu ya guys. Well, teman-teman tahu tidak, masih banyak orang di sekitar kita yang bersikap cuek terhadap tindakan perundungan (bullying). Cuek yang kumaksud ya perasaan dia itu biasa-biasa saja dan menganggap korban-korban bullying ini adalah bagian dari ritme dunia pendidikan bahkan dinamika kehidupan sekolah yang biasa terjadi. Kepeduliaan akan muncul saat korban bullying benar-benar sudah terlihat K.O. alias mengalami penyiksaan pada fisiknya. Ada bahkan guru yang hanya sibuk pada tugas domestik, lalu tanda-tanda bullying jelas samar dari penglihatannya. Orang tua apa lagi, ada diantara mereka yang sudah tahu anaknya jadi bahan olok-olokan di sekolah, tapi jawabannya apa coba? Si anak diminta untuk sabar saja menghadapi perlakuan mereka. Mereka pikir anak-anak mentalnya sekuat itu?. Jelas ini tak hanya opini semata dari aku, semenjak terlibat menjadi Konselor Anak dan Remaja, aku mulai memahami kenapa anak-anak jiwanya sangat mudah terguncang dengan peristiwa kekerasan yang dia alami. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja suka trauma.
                 Bulan Januari 2020, ada kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas konseling. Itu adalah pengalaman pertamaku mengaplikasikan ilmu konseling yang saya peroleh dari pelatihan. Peserta kegiatan tersebut adalah anak-anak usia 10-15 tahun. Saat sesi cerita berkelompok, peserta diminta untuk menceritakan kisah sedih dan senang yang pernah ia alami. Berbagi kisahnya banyak diselingi canda, tawa, dan haru. Namun tiba-tiba kelompok kita jadi hening. Kutemukan dua anak sekolah dasar begitu sedih menceritakan pengalamannya di sekolah.
                Aku dirundung kisah pilu mereka sebagai korban bullying. Ya Allah, anak sekecil ini mengekspresikan kesedihannya dengan tangis yang tersedu-sedu , apalagi jika itu bukan gambaran emosi jiwa mereka. Aku memeluknya dan bertanya “ Kalian mau membagi kisah itu dengan kak Fitrah? Aku kasih tahu cara menghadapi teman-teman yang suka mengganggu kalian”. Mereka langsung menghapus air matanya dan mengangguk kepadaku. Obrolan kita lebih dari sejam, aku banyak bertanya, mereka pun banyak bercerita termasuk respon orang tua mereka saat dua gadis kecil ini memberitahu perilaku bullying yang kerap ia dapatkan.
                Cerita diatas bukanlah penyebab awal aku tersadarkan jika perundungan adalah masalah serius. Tapi, lebih dari itu, aku sudah melihat langsung dampak yang ia timbulkan dan memang sangat berpengaruh pada psikologis anak. Ini bukan gimmick, kukatakan sekali lagi masalah ini SERIUS!.  Lingkup terdekatku telah mengalami perundungan, semuanya terungkap saat aku tinggal bersama ponakanku di Jakarta. Selama tinggal di rumahnya, aktivitas kami berdua tentu semakin intens. Namun, sebelum itu Ayahnya memang pernah menceritakan karakter putrinya semenjak ± 7 tahun tinggal di Jakarta bahkan aku diberitahu  tentang atmosfir sekolahnya kalau ponakanku saat itu bersekolah di sekolah swasta Islam.
                Dari dia kecil, aku sudah paham, anak ini memiliki kemampuan kognitif yang berbeda dari anak-anak lainnya. Terkadang, dia melakukan sesuatu yang membuat kita kurang nyaman. Sampai orang tuanya pernah melakukan konsultasi ke psikolog untuk memecahkan masalah yang terjadi pada ponakanku ini. Aku semakin kaget saat mengetahui diumurnya yang beranjak 14 tahun dia belum mahir juga berhitung. Dari segi fisik, alhamdulillah dia sangat-sangat sempurna, terlebih fasilitas yang disediakan di rumahnya lengkap. Dari segi ekonomi, alhamdulillah juga tidak ada masalah. Aku bingung, kenapa dia sampai tertinggal begini?.
                “ Kak, tiap pagi ikut antar kita ke sekolah ya” pintanya dengan penuh semangat. Selama dua pekan, salah satu aktivitasku di pagi hari adalah ikut mengantarnya. Tak jarang, aku ikut kegiatan-kegiatan sekolah mereka, seperti pentas atau acara festival sekolah. Dari situ, aku mengamati lingkungan sekolah dan teman-temannya. Kulihat latar belakang anak-anak disana memang dari orang-orang gedongan. Sekolah ini membuka program inklusi untuk anak-anak berkebutuhan khusus, jadi siswa saling berbaur satu sama lain di kelas. Setiap anak inklusi memiliki shadow teacher, guru yang selalu menemani dan membantu dalam setiap aktivitas muridnya.
                Ponakanku juga memiliki guru khusus seperti itu karena dia dianggap perlu pendampingan selama belajar di sekolah. Aku pernah bertanya kepadanya:
“ Nggi, kertas-kertas origami ini buat apa? Sering dikasih begini di sekolah?”
“ Iya kak, ini aku disuruh  sering-sering lipat kertas untuk meningkatkan kemampuan motorikku” balasnya.
Meningkatkan motorik kasar dan motorik halus sejatinya dilakukan sejak anak masih kecil dari usia 1-4 tahun. Namun, ternyata salah satu stimulun khusus untuk meningkatkan kemampuan berfikir dari sekolahnya adalah terapi seperti itu.
                Karena sering menemani dia belajar di rumah, aku jadi akrab dengan shadow teacher ponakanku. Sering ia mengingatkan tugas-tugas sekolah agar dikerjakan dan memberi tahu tentang  Nggi  pada hari itu melakukan apa saja di sekolah. Miss Ina sering menginformasikan kalau Nggi kurang bersemangat di sekolah, tidak antusias saat belajar. Setiap shadow teacher ponakanku mengatakan seperti itu, aku suka mengerutkan dahi sebab setiap Miss Ina ngomong tentang kondisi Nggi di sekolah, itu selalu berbanding terbalik dengan keadaan yang kudapatkan saat mengantarnya pergi ke sekolah.
                Ketika berangkat ke sekolah, ia selalu menunjukkan ekspresi ceria kepada kami. Sampai turun dari mobil pun begitu “ Semangat Gi, semoga hari ini sekolahnya lancar”. “ Iya kak, terima kasih” membalas dengan senyum. Lalu, kenapa jika di kelas ada saja laporan kurang menyenangkan?. Jangankan shadow teacher, pernah Ayah dan Ibu Nggi menyampaikan keluhannya kalau putri sulungnya itu sulit diajar.
                Tapi….. bener deh, apa yang mereka katakan tentang Nggi yang malas, kurang pandai, tidak tahu belajar itu sangat berbeda dengan apa yang kulihat ketika membantunya belajar. Iya, kuakui ia memang lemah dalam berhitung, bukan lemah lagi, benar-benar dasar perhitungan tambah, kurang, bagi, kali, masih ekstra belajar. Untuk anak sesusianya itu memang kelihatan aneh, namun  dia sangat cepat dalam menghafal. Suruh dia menghafal teks? Cepat tuh pasti, jadi pelajaran IPA dan IPS adalah favoritnya.
                Masalah mulai terungkap saat ia berani bercerita. Obrolan kita dimulai ketika adiknya membeberkan kepadaku kalau  anak hits kompleks kita suka sama Nggi.
“ Eh anak laki-laki yang suka lewat depan rumah itu satu sekolah dengan kalian kan?” tanyaku.
“ Iya kak, itu kakak kelasku. Temannya kak Nggi juga. Beda kelas tapi. Pernah nembak kak Nggi dia kak” jawab Dede.
Nggi langsung beraksi menutup mulut adiknya “ Ih apaan sih dek”. “ SERIUSAN, DEMI APA?” Asli, aku kaget sekali saat mendengarnya.  Nggi pun menceritakan kepadaku apa yang ia rasakan saat tahu ada orang yang berusaha mendekatinya. Kuposisikan diriku sebagai anak remaja seusianya. Obrolan kita berlanjut santai “ Dek, kalau di sekolah Nggi sering main sama siapa, ngapain aja?”. “ Hmmm… di sekolah aku pendiam kak. Teman-teman menjauhiku. Jadi aku terkadang main sama adek kelas”. Nggi terus bercerita bagaimana perlakuan yang ia terima. Dan itu benar-benar membuat telingaku panas. Parahnya, dia selalu saja jadi bahan kejailan teman-temannya. Nggi juga bilang
“ Mereka kalau mendekat pasti ada maunya. Apalagi kalau aku bawa bekal atau cemilan ke sekolah. Mereka biasanya minta terus digilir ke teman-teman pas kembali ke aku eh udah kosong, aku nggak disisain”
                Tak hanya itu, perundungan (bullying) fisik juga pernah dialami oleh ponakanku. Saat mendengarnya, aku ikut merasakan kesedihan yang ia alami. Betapa pikirannya pasti terbebani dengan sikap teman-temannya itu. Sekelas dengan mereka selama tiga tahun, namun harus menerima perlakuan yang tidak bersahabat dan harus dikucilkan. Setelah Nggi curhat, semua teka-teki terjawab. Seringnya ia sariawan dalam waktu berdekatan, sakit kepala, barang-barangnya suka hilang di kelas, tidak betah berlama-lama pada kegiatan sekolah , pasif di kelas, tidak bersemangat saat bersama Miss Ina, suka hilang konsentrasi saat belajar dan sikap agresifnya , itu semua penyebabnya karena Nggi korban bullying.
                Nggi pandai sekali menyembunyikan masalahnya dari keluarga. Jika melihat karakternya yang periang, ramah, kocak, dan gokil, keluarga kami tak ada yang tahu jika dia memendam masalah sendirian. Karena karakter Nggi di sekolah dan di rumah 100% berbanding terbalik. Justru dia pecicilan dari kecil dan sering jadi ratu jail diantara sepupu-sepupunya yang lain. Tak kusangka, tekanan batin yang ia alami telah menghambat perkembangan akademiknya. Hingga ia dipandang sebelah mata padahal jika belajar bersamaku di rumah, Nggi bisa-bisa aja tuh menjawab. Ayahnya sampai harus double bayar uang sekolah karena biaya SPP dan fasilitas pelayanan terapis ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) seperti shadow teacher beda lagi.
                “Tolong bantu mereka belajar” adalah sebuah kalimat dari seorang Ayah yang begitu peduli pada putrinya. Opu Kuta menyampaikannya saat ia menjemputku di bandara, waktu dimana aku pertama kali akan kembali bertemu dengan Nggi dan Cila. Di tengah kemacetan dari Cingkareng ke Cibubur, Ayah mereka menceritakan karakter kedua putrinya. Mereka sekolah dimana, aktivitasnya apa saja, dan lain-lain. Umurku masih 17 tahun saat itu, pikiranku ketika mendengar pesan dari beliau ya biasa-biasa saja. Kujawab dengan santai lalu mengiyakannya.
                Ternyata… setelah tahu Nggi mengalami guncangan emosi akibat bullying. Aku semakin terpacu mengajarinya. Sudah cukup anak ini dirundung label sebagai siswa yang tak mampu belajar. Aku yakin insyaa Allah perlahan-lahan , Nggi bisa menaklukkan sekolahnya. Agenda belajar mulai kami atur, kuminta komitmennya “ Dek, kan sudah ada kak Itta di rumah jadi bisa bantu kamu. Mau kan kita sama-sama buat orang lain tidak meremehkanmu lagi?”.
                Goals aku saat itu samaskali bukan untuk membuatnya terlihat lebih hebat daripada teman-temannya. Harapanku, ia sendiri dapat melawan rasa takut dan pesimisnya. Seringkali dia, aku, dan adiknya bertengkar di kamar gara-gara kami harus mendorong Nggi agar mau belajar. Membangun keinginan dan semangat belajar mereka berdua tentu tak mudah, apalagi Nggi. Dia sering memukulkan alat tulisnya jika tak tahu menjawab dan seketika saja dia meminta untuk berhenti seolah menyerah.
                Kamu tahu apa yang menjadi akhir dari kisah perjuangan dia?. Akhir semester, orang tuanya kaget saat menerima rapor di sekolah. Ia diumumkan mendapat peringkat tiga di kelas. Miss Ina, wali kelas, guru-guru lain, dan teman-temannya sangat terkejut. Nggi yang dicap sebagai anak lemah oleh teman-temannya justru menggeser posisi orang yang sering melakukan bullying padanya. Saat suara mobil terdengar, tanda mereka sudah pulang, aku bergegas membuka pintu rumah.
                Raut wajah anak dan ibu penuh kebahagiaan “ini pasti mereka habis mampir makan” ucapku dalam hati. Tiba-tiba Nggi memelukku, aku terharu dong ya dipeluk sama bocah tengil itu hehehe. Ibunya langsung berkata “ Ayo terima kasih sama kakak Itta, kasih tau kalau Alhamdulillah Nggi dapat juara kelas”. Kebayang aku terharunya seperti apa “ Ya Allah, serius dek? Alhamdulillah, hebat sekali kamu” sambil membuka rapor yang ia pegang.

................
          Nggi mengajarkan banyak hal pada kita bahwa anak-anak itu membutuhkan kehadiran dan dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sekolah seharusnya menjadi rumah kedua yang nyaman bagi siswa bukan menjadi tempat tumbuhnya praktik-praktik kekerasan. Sadar atau tidak, maraknya kasus kekerasan yang terjadi telah membuktikan bahwa keamanan dan ketentraman anak-anak sedang terancam. Korban school bullying akan mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi rendahnya kesejahteraan psikologis (law psychological well-being) berupa rasa takut, rendah diri, serta merasa tidak berharga (Rigby dalam Djuwita dkk, 2005), penyesuaian sosial yang buruk, ia merasa takut ke sekolah bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan, dan prestasi akademik yang menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar.
                Tidak hanya itu, karena kesejahteraan psikologis memiliki korelasi yang erat dengan kesehatan fisik maka semakin korban bullying merasa tertekan, kondisi fisiknya pun sedikit demi sedikit mulai menurun. Hal tersebut ditandai dengan seringnya korban mengelu sakit kepala, sakit tenggorokan, flu dan batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Untuk setiap orang tua dan kita yang kelak akan jadi orang tua, setiap diri berpotensi menjadi toxic (racun) untuk anak-anak. Jangan sampai  karena kita punya keinginan, mimpi, atau cita-cita yang belum tercapai lantas anak-anak harus dipaksakan menjadi agen pemuas prestise kita di masyarakat. Anda punya kekurangan dan kelebihan, anak-anak pun begitu. Sadar diri, terima diri, dan cintai diri. Allah selalu punya cara untuk membuat kita lebih bahagia.

***

Terima Kasih teman-teman, semoga bermanfaat.. Oh iya, beberapa jam sebelum tulisan ini diposting, Nggi sudah memberikan izin agar pengalaman pribadinya dibaca oleh kalian. Doakan ia agar selalu bertahan dan berani melawan tindakan perundungan  (bullying).



               




Komentar